Desain Ruang Tamu Lesehan Sederhana Harapan – Desain Ruang Tamu Lesehan Sederhana
NUSANTARANEWS.CO – “Cinta memang tak pernah memandang usia Monalisa, tetapi apakah pantas andai seorang wanita sepertimu, pantas untuk menikah?” Mata Hasan yang menatapnya dengan tajam, pada perkumpulan keluarga.
Di meja santap itu, sekarang semakin tegang sebab Hasan yang paling keberatan tentang ucapan adiknya. Dua minggu yang lalu, Lisa barusaja meninggalkan bangku SMA, kemudian pada malam itu, dengan nada penuh, ia meracau hendak menikah.
Meskipun ia tahu, bahwa adat di desanya tidak menyarankan seorang adik melampaui kakaknya dalam urusan berkeluarga, ia melulu abai pada keharusan yang telah sepantasnya ia lakukan, ia seakan memiliki rasa tak sabar guna segera membuka kisah di pelaminan. “Sebenarnya terdapat apa Lisa?” Kata Hasan pada adik semata wayangnya itu.
Malam tersebut masih tak terdapat suara, ibunnya bungkam seribu bahasa, suara Lisa pun sekarang sudah tak terdengar sesudah pernyataannya tadi, Hasan sama sekali tak menyetujuinya. Sesekali, rasa tak menyangka makin beterbangan dalam benaknya. terdapat yang berubah dari borongan dirinya, laksana gelisah, Lisa tidak jarang kali menampakkan wajah murung dan sering mengunci diri dalam kamar.
“Umurmu masih muda Lisa, guna apa anda menikah?” Desah ibu kepadanya.
“Entahlah Ibu, kelihatannya hatiku yang selalu berbicara begitu.” Akhirnya ia bersuara.
“Kamu tahu kan, umurmu masih 18 tahun, guna apa anda menikah? Kakakmu saja yang telah berumur tua, sama sekali tak pernah berucap guna menikah.” Kata ibu yang semakin tak percaya.
Lagi-lagi ia diam, sorot matanya tertuju pada gelas mengandung teh yang terus mengepulkan asap. Hasratnya serasa tak dapat di tunda oleh apa dan siapa saja, ia begitu mengharap pada kehidupan dan hubungan dalam pernikahan. Namun pada malam itu, ibu dan Hasan tidak saja tergeragap dengan perkataannya, mereka seolah tak mengenal lagi Lisa yang sebelumnya, Lisa yang dikenal abai pada kehidupan cinta.
Setan mana yang merasuk dalam dirinya, ia begitu bertolak belakang dengan hari-hari sebelumnya, bertolak belakang dengan banyak sekali anak seusianya yang masih bergelut dengan “Cinta” yang menggelora. Lisa dikenal sebagai sosok wanita yang begitu pendiam dan jarang berteman, jarang pula ia memperkenalkan temannya pada Ibu dan Hasan. Hanya saja, mereka langsung di dengarkan oleh perkataannya mengenai pernikahan.
Semenjak perkumpulan itu, Lisa tidak jarang mengurung diri dalam kamar, katanya, ia tak bakal pernah berubah hingga kapan pun, kecuali ibunya dan Hasan menikahkannya walau umurnya belia. Hasan pun telah berkali-kali menuliskan tak bakal pernah menyetujuinya. Karena itu, Lisa semakin menganiaya dirinya sendiri, berdiam dalam sunyi, berteman dengan sepi.
“Apa yang Ibu mesti kerjakan pada adikmu tersebut San?” Gumam ibu pada sebuah pagi di ruang tamu.
“Entahlah Bu, hasan pun tak dapat membaca pikirannya!”
“Sudah berminggu-minggu Lisa mempunyai sifat seperti ini.” Ibu tersiar cemas.
“Kita tak butuh gegabah menghadapinya Bu, ini bukan hal kecil, lagipula ini mencantol kehidupnya!”
“Hasan bakal coba tanya pada rekan dekatnya, barangkali mereka tahu tidak sedikit tentang Lisa! Seragah Hasan guna meyakinkan ibunya.
Hampir saban hari Hasan menggali kabar mengenai Lisa, ia datangi rekan demi temannya demi mendapat kepastian. Adalah Fari, rekan sewaktu SMP sampai SMA. Pikirnya, ia dapat tidak sedikit membantu untuk memahami apa yang sebetulnya terjadi. Hasan datang ke rumahnya. dan sungguh kebetulan, ia mendapati Fari yang tengah duduk di berandanya seraya membaca sejumlah lembar eksemplar isian pendaftaran kuliah.
“Fari..! Sapa Hasan padanya di sebuah siang yang lumayan terang.
“Eh.. bang Hasan, tidak seringkali kesini, ada butuh sama Bapak? Jawabnya seraya menebar senyuman.
“Tidak Far, saya ada butuh denganmu!”
“Ada butuh apa bang?” Wajahnya mengerut sebentar.
“Kamu kan telah lama kenal Lisa adikku itu, apa anda tahu rekan dekatnya di samping kamu?” Suara Hasan sarat harap.
“Dia tidak jarang bercerita kepadaku, mengenai temannya yang begitu istimewa, ia juga berbicara kalau ia bakal segera menikah dalam masa-masa dekat ini. Akhir-akhir ini aku laksana tak mengenal Lisa yang dulu, ia begitu bertolak belakang dari sebelumnya.Aku telah berkali-kali bertanya siapa temannya itu, tetapi jawabnya melulu sederhana: Sudahlah, kau bakal tahu andai laki-laki tersebut meminangku! Katanya selalu.”
Usai memperhatikan pernyataan dari Fari, Hasan juga semakin bingung menjadi-jadi, sebetulnya ada apa dalam diri adiknya itu? apakah ia sudah tak waras akan cinta; Tak adakah hal beda yang kau mau Lisa, di samping pernikahan? Gumamnya dalam hati.
Hasan juga berpamitan dalam perjummpaannya, tahapannya terhuyun sebab di landa gelisah, ia begitu terpukul sebab suasana Lisa. Semuanya tak terdapat yang tahu siapa laki-laki yang ia maksud sebagai calon suaminya. Entahlah, otaknya sesak oleh seribu pertanyaan mengenai cinta Lisa yang masih tak mengejar ujung kepastian..
Dengan tahapan yang paling lemah, ia kembali kerumahnya, tak terdapat kabar yang meyakinkan mengenai Lisa. Seluruhnya melulu mengatakan bahwa Lisa memiliki teman yang begitu istimewa.
“Lisa dimana Bu?” Suara Hasan yang mulai tak berdaya.
“Seperti biasa San, terdapat di kamarnya seraya meracau layaknya orang gila!” Dengan pelan, Ibu mendekatinya di ruang tengah.
“Semua temannya tak terdapat yang tahu sikap Lisa yang seperti tersebut Bu, aku telah tak mampu memikirkan ini semua.” Suaranya mengeluh.
“Jadi Ibu mesti rela adikmu tersebut menikah?”
“Jika anda terus begini saja, barangkali kita bakal kehilangan Lisa guna selamanya.”
“Ibu melulu khawatir dengan kehidupannya besok Nak!
“Mungkin telah tak ada teknik lain lagi Bu.” Kemudian Hasan dengan tahapannya yang gontai, bergegas meninggalkan ibunya dengan cemas.
Pada malam harinya, Hasan dan Ibu mendatanginya dalam kamar, ia bercita-cita tak bakal ada penyesalan karena telah menuruti permintaaanya. Lisa masih tetap laksana biasa, dengan wajahnya yang tidak sedikit menyimpan kesedihan.
“Sebenarnya apa yang kau pikirkan Lisa?” Suara ibu seraya mengelus sejumlah helai rambutnya dengan sayu .
“Tak terdapat lagi yang Lisa pikirkan Bu, Ibu dan Kakak tentu tahu kenapa aku bersikap laksana ini.” Katanya dengan suara yang tidak banyak serak.
“Ibu dan Kakakmu sangat khawatir pada keadaanmu, kau begitu berubah dari Monalisa yang ibu besarkan dan simaklah dari dulu. Katakan pada Ibu Nak, siapa laki-laki yang kau maksud sebagai suamimu itu?”
“Lisa tidak bakal mengatkan untuk siapa-siapa Bu, laki-laki tersebut Lisa simpan bareng Tuhan, dan andai memang kalian hendak tahu, segeralah nikahkan aku, maka laki-laki tersebut akan datang, tepat di hari pernikahanku.”
“Baiklah, andai memang ini yang kau mau, kami bakal melakukannya, minggu depan kau bakal menikah dengan laki-laki yang kau simpan dengan Tuhan itu.” Hasan mengumpati seolah memutuskan.
Seketika Lisa bangkit dari lokasi tidurnya, merangkul ibunya dengan tumpahan airmata tanda kesenangan.
Kabar berhamburan dari semua mulut warga mengenai pernikahan Lisa, pernikahan yang terpaksa diselenggarakan karena fobia kehilangan anaknya. Sungguh, betapa sombong kekuatan cinta sampai membuat insan tak berdaya.
Hari itu, ialah hari keinginan para manusia, hari yang paling dirindukan oleh semua wanita khususnya, dimana dunia menyaksikannya menjadi mahkota, menjadi permata yang cemerlang di angkasa. Lisa menghantarkan masa depannya pada gerbang pelaminan, menjadi mempelai perempuan dari laki-lakinya yang ia simpan pada Tuhan.
Gemuruh semua waga hadir bersama semua tamu undangan, merapalkan do’a, merestui jalan kehidupan. Semerbak bunga-bunga menghambur di tepi-tepi sisi rumahnya, seakan menjadi bukti besar kehangatan cinta yang berbinar-binar.
Tak terdapat hal beda yang ia kerjakan di samping menghias dirinya sedemikian rupa, ia mendatangkan sejumlah wanita yang pandai merias dari dusun sebelah, ia hendak begitu jelita di hari besar yang paling ia tunggu dalam hidupnya.
“Di Luar, tamu sudah nyaris penuh Lisa, barangkali sebentar lagi calon suamimu tersebut akan tiba.” Gumam ibu kepadanya.
“Sebentar lagi Bu, ini sudah nyaris selesai!” Katanya dengan tidak banyak senyuman.
Limabelas menit juga berlalu, ia terbit dengan menebar senyuman, seketika semua tamu berdiri menyambutnya , tak terdapat hal beda yang ia rasakan di samping kebahagiaan yang tak terbandingkan oleh segala hal. Kebahagiaannya membuncah bareng desir angin yang melambaikan gaun yang ia kenakan. Ia duduk di samping Hasan sembari menantikan kedatangan laki-laki yang ia rahasiakan.
“Kau masih tak hendak memberi tahu kami siapa suamimu tersebut Lisa?” Suara Hasan di sampingnya.
“Sudahlah Kak, tunggu saja ia datang, kau bakal tahu sendiri dengannya!” Jawabnya singkat.
“Kapan ia bakal datang?” Kali ini Ibunya yang bertanya.
“Tunggu saja sebentar Bu, barangkali ia masih di jalan mengarah ke kesni!”
Satu jam berlalu, wajah semua tamu resah bertanya-tanya mengenai mempelai lelaki yang tak kunjung tiba, wajah Lisa pun sekarang semakin tegang dan khawatir menanti-nanti. Hasan dan ibunya mengupayakan menenangkan para-para tamu yang ada.
“Sebenarnya kemana calon suamimu tersebut Lisa?” Tanya ibu dan Hasan padanya.
“Aku sudah menuliskan padanya Bu, barangkali di jalan mereka ada tidak banyak masalah! Jawabnya ragu.
Hingga begitu lamanya, dan lantas para tamu yang tidak banyak demi tidak banyak menghilang, mereka mengira bahwa Lisa telah tak lagi waras. Ia menyelenggarakan pernikahan yang tak benar-benar adanya. Lisa menangis dan terus gelisah, karena laki-laki tersebut tak kunjung tiba.
Ia tak mengira, bahwa laki-laki tersebut telah tersimpan kekal dalam Tuhannya.[]
Yogyakarta, 2017
A. Khotibul Umam
A.Khotibul Umam. Lahir di Sumenep,22 April,1999. Santri Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari Yogyakarta. bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta(LSKY).
__________________________________
Bagi rekan-rekan pengarang yang hendak berkontribusi (berdonasi) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun daftar kebudayaan serta profil komunitas bisa dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]